Jakarta Darurat Banjir, Salah siapa…??

'tsunami' Plaza UOB, Jakarta

‘tsunami’ Plaza UOB, Jakarta

Beberapa hari ini, Ibukota, Jakarta disibukkan oleh kondisi darurat banjir. Pada hari kamis (17/01) Jakarta benar-benar dibuat lumpuh oleh kepungan banjir dan hingga kini pun air masih menggenagi beberapa titik daerah di Jakarta. 50 ribu orang mengungsi dan 15 orang nyawa telah melayang akibat banjir ini termasuk tragedi tragis tsunami Plaza UOB yang membawa korban 4 orang, beruntungnya 2 orang tersebut masih bisa diselamatkan tim SAR.

Para pejabat dan artis ikut turun ke lapangan meninjau, menemui korban hingga memberikan bantuan terlepas dari niat mereka yang jelas ini sebuah fenomena kegetiran yang terjadi di Jakarta dirasakan semua kalangan.

Ekspresi-Jokowi-Saat-PusingSebenarnya ekspektasi besar ditumpukan pada gubernur baru Jakarta, Jokowi untuk bisa mengatasi problem kronis Jakarta (kemacetan dan banjir), namun memang cukup dimaklumi hingga 100 hari kepemimpinannya tentu tidak bisa instant mengatasi problem kronis Jakarta ini. Toh sudah berapa kali gubernur Jakarta masih saja diterpa oleh banjir, bahkan sejak zaman Benyamis S muda dengan salah satu lirik lagunya; “Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk”. Berarti memang banjir Jakarta memang sudah sering terjadi sejak lama toh.

Namun, tetap saja tragedi ini adalah sebuah bencana dan musibah. Suatu musibah yang menimpa tentu harus ada proses evaluasi mengapa musibah itu terjadi dan bagaimana supaya musibah itu tidak terulang lagi. Bila kita berhenti dari evaluasi diri maka kita telah menjadi manusia yang nyata berjalan menuju kehancuran.

Menurut saya, banjir besar Jakarta tahun ini relatif lebih parah daripada banjir besar yang terakhir menimpa Jakarta pada tahun 2007. Namun ada fakta yang sangat ironis sebagai berikut yang saya kutip dari link di sini.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan curah hujan harian tertinggi di Jakarta pada Selasa dan Rabu pagi hanya sekitar 100 milimeter. Angka itu jauh lebih rendah dibanding rekor curah hujan tertinggi dalam satu hari yang terjadi pada Januari 2007 yang mencapai 340 milimeter. Curah hujan sepanjang Januari ini yang diprediksi 300-400 mm juga dianggap masih normal.

Curah hujan di kawasan Puncak juga lebih rendah dibandingkan lima tahun lalu. Pada 2007 lalu, curah hujan selama sebulan di kawasan Puncak bahkan bisa mencapai 640 mm, dengan curah hujan maksimum harian adalah 136 mm.

Sementara sekarang, hujan sepanjang tiga hari lalu jauh lebih sedikit. »Senin sebesar 22,6 mm, Selasa 74,2 mm, dan Rabu 61,4 mm,” kata Kepala Stasiun Klimatologi Kelas 1 Darmaga Bogor, Nuryadi, Rabu 16 Januari 2013.

Ini membuktikan bahwa banjir di Jakarta adalah akibat debit Ciliwung meningkat drastis. Kenaikan debit Ciliwung ini terkait dengan rusaknya kawasan hulu sungai itu di Puncak.

Kepala Pusat Studi Bencana Institut Pertanian Bogor, Euis Sunarti, membenarkan. Menurutnya, meski curah hujan di kawasan hulu Ciliwung-Cisadane lebih kecil, dampak ke Jakarta lebih hebat karena daya serap air di kawasan Puncak, Bogor, sudah semakin lemah. Berdasarkan kajian dengan citra satelit, keseimbangan ekologis kawasan Puncak pada awal tahun ini merosot hingga 50 persen dibanding pada 15 tahun sebelumnya.

Pada saat yang sama, sungai-sungai di Jakarta semakin kehilangan kemampuan mengalirkan air hingga 70 persen karena penyempitan dan pendangkalan. Kondisi ini dan yang terjadi di Puncak bermuara pada banjir di Jakarta yang semakin parah.

Hujan adalah anugerah dan berkah, dan bukan sesuatu yang bisa disebut berlebihan atas musim penghujan ini karna faktanya curah hujan saat ini masih jauh lebih kecil dari pada curah hujan tahun 2007 yang menyebabkan Jakarta kebanjiran yang mana nota bene tidak separah tahun ini. Jelas dari fakta-fakta di atas bahwa banjir yang menimpa Jakarta adalah akibat kerusakan yang mereka buat di atas muka bumi ini. Persis seperti firman Allah ta’aalaa:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).“ (Qs. ar-Rum : 41)

Terkait dengan banjir ini, Jakarta telah dirusak baik di dalamnya maupun di sekelilingnya. Apa saja yang telah dirusak oleh manusia terkait dengan banjir ini:

  1. Di kawasan atas, Puncak/Bogor/pegunungan, resapan air telah berkurang karena kawasan pegunungan banyak yang dijadikan hunian. Pohon-pohon ditebangi berganti dengan komplek perumahan megah, villa-villa dan kawasan wisata lainnya.
  2. Di Jakarta-nya sendiri nyaris tidak ada lagi daerah resapan air hujan sehingga membuat air hujan menggenangi kota, kalaupun ada hutan-hutan kota yang menjadi daerah resapan air, jumlah dan luasnya sangat-sangat tidak signifikan. Ketika air pun mengalir ke selokan (sungai), sungai telah dangkal oleh sampah dan lumpur. Jakarta adalah kota aspal, beton dan bangungan-bangunan megah nan menjulang tinggi diselingi oleh selokan-selokan (kali dan sungai) yang dangkal. Mengisyaratkan sebagai sebuah kota yang tidak mau menerima karunia Tuhan berupa hujan.
  3. Di bawah kota Jakarta atau di kawasan pesisir pantai Jakarta, sudah tidak kita lihat lagi kawasan hutan bakau yang sangat berfungsi menahan abrasi air laut dan pasangnya air laut yang masuk ke daratan. Kata orang dulu, di pesisir Kapuk terkenal dengan hutan bakaunya, namun kini lebih dikenal sebagai perumahan mewah meskipun dengan nama yang indah semisal ‘Pantai Indah Kapuk’. Lalu apanya yang indah bila merusak keseimbangan alam ini.

Jadi jelaslah bahwa musibah yang menimpa kita adalah karena kerusakan yang telah kita buat oleh tangan-tangan kita sendiri. Dengan begitu Allah ingin kita menyadari kesalahan kita dan beruntung sekali bila kita benar-benar sadar dan memperbaiki diri kita, masyarakat kita dan lingkungan di sekitar kita meskipun perlahan, bertahap dan memulai dari hal yang terkecil namun ada sebuah usaha menuju arah perbaikan.

Tulisan ini bukan untuk memvonis dan memurkai warga Jakarta terlebih saya sendiri warga Jakarta, pernah menjadi korban banjir Jakarta dan begitu banyak saudara dan sanak famili saya yang saat ini masih menjadi korban banjir Jakarta. Tapi sebagai sebuah evaluasi diri untuk menjadi lebih baik lagi. Bukan manusia yang tak pernah salah yang menjadi manusia terbaik, tetapi manusia yang mau kembali menjadi baik setelah bersalah lah yang akan menjadi manusia terbaik.

Mari kita perbaiki lingkungan kita dengan apa yang diisyaratkan Allah SWT:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

 “Janganlah kalian merusak bumi ini  (dengan kesyirikan dan kemaksiatan), sesudah bumi ini diperbaiki (dengan tauhid dan ketaatan), maka sembahlah Allah dengan rasa takut dan mengharap. Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik,  (yaitu orang-orang yang memperbaiki dunia ini dengan tauhid dan ketaatan kepada Allah).”  (Qs. al-A’raf : 55-56)

Wallahu a’lam bish shawab

Djakarta Tempo Doeloe

Djakarta Tempo Doeloe

Indonesia vs Turkmenistan (4-3); Mental atau Fisik yang Salah

Bagi penggemar sepakbola di tanah air dan/atau pendukung tim nasional (timnas) Indonesia tentu sangat dibuat khawatir ketika menonton pertandingan pra kualifikasi Piala Dunia hari ini antara Indonesia menjamu Turkmenistan. Bagaimana tidak, di babak pertama timnas telah unggul 3-0 namun di babak kedua skor menjadi 4-3. Menang memang, tapi yang menengangkan adalah kalau saja 5 menit tersisa plus 4 menit injury time turkmenistan mampu menambah 1 gol lagi saja. Pupus sudah harapan timnas tuk masuk ke babak selanjutnya. Karena pada pertandingan tandang sebelumnya skor imbang 1-1, sehingga bila di Senayan tadi hasil menjadi imbang 4-4 maka Turkmenistan yang lolos karena menciptakan gol lebih banyak di kandang lawan.

Dimana kesalahannya? Kelemahan fisik kah karena menyerang menggebu-gebu? Bukankah Turkmenistan juga bermain ngotot untuk menang lalu mengapa mereka bisa menjaga stamina mereka sehingga mampu memperkecil ketinggalan menjadi tipis.

Atau mental para pemain timnas yang buruk karena meremehkan lawan ketika sudah di atas angin? Seingat saya hal ini sering terjadi pada timnas. Dulu ketika pra kualifikasi Piala Dunia juga melawan Qatar di senayan, timnas telah unggul 2-0 di babak pertama. Bahkan satu gol yang diciptakan Widodo C Putra dinobatkan menjadi gol terbaik dunia saat itu. Namun yang terjadi pada babak kedua kedudukan menjadi 2-2. Dan timnas tidak bisa masuk ke babak selanjutnya karna kalah pada pertandingan tandang di Qatar.

Yang masih hangat kenangan kita akan timnas adalah di AFC Cup (Piala Tiger). Setelah menjadi the dream team di penyisihan, sehingga timnas begitu dipuja-puja. Kalangan pesantren pun mengundang timnas untuk ritual istighaasyah, dan kalangan pengusaha mengundang jamuan dalam rangka memasuki final melawan Malaysia. Fenomena timnas benar-benar menjadi eforia saat itu di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Namun pada titik penentuannya timnas harus takluk pada Malaysia dengan agregat 2-4, padahal pada babak penyisihan Malaysia ditekuk 5-1. Apakah ini semua karena mental pemain timnas yang sering meremehkan lawan ketika sudah berada di atas angin sehingga mereka lelah. Apapun itu tentu harus menjadi evaluasi bagi pelatih timnas saat ini dan selanjutnya.

Jika memang benar permasalahan mental seperti di atas, semoga saja hal itu tidak mencerminkan sifat bangsa Indonesia pada umumnya.

Salah Kaprah Mengenai Bagi Hasil

Bagi hasil adalah salah satu kosep terapan ekonomi syari’ah yang diberlakukan sebagai konsekuensi atasi pinjaman modal yang diberikan pemodal kepada pengelola modal tersebut. Bila pada konsep ekonomi konvensional seorang pemberi pinjaman modal menerima bunga yang sudah ditentukan dimuka yang besaran porsentasenya dikenakan atas modal yang diberikan, tidak memperdulikan usaha yang dijalankan itu untung atau rugi, si peminjam harus mampu mengembalikan pinjaman modal tersebut berdasarkan waktunya dan juga bunganya. Sedangkan dalam konsep syari’ah si pemberi modal akan mendapatkan nisbah bagi hasil yang besaran porsentasenya ditetapkan atas hasil dari usaha tersebut. Bila usaha tersebut merugi tentu pemberi modal pun akan menanggung beban kerugian sebesar porsentase nisbah yang dimilikinya pula.

Ilustrasi:

Ekonomi konvensional:

Pinjaman modal Rp 10.000.000,- selama setahun dengan bunga 10% (Rp 1.000.000,-). Setelah setahun usaha itu untung ataupun rugi, berkembang ataupun bangkrut, maka si peminjam harus mengembalikan pinjamannya sebesar Rp 11.000.000,-

Ekonomi syari’ah:

Pinjaman modal Rp 10.000.000,- selama setahun dengan nisbah bagi hasil: Pemodal : Pengelola = 30 : 70. Bila setelah setahun usaha tersebut mendapatkan keuntungan sebesar Rp 5.000.000,- maka pengelola mengembalikan pinjaman sebesar Rp 11.500.000,- (pinjaman pokok Rp 10.000.000,- ditambah bagi hasil 30% dari Rp 5.000.000,-). Namun bila sebaliknya usaha itu merugi sebesar Rp 5.000.000,- maka pengelola hanya wajib memberikan pinjaman sebesar Rp 8.500.000,- (pinjaman pokok rp 10.000.000,- dikurangi nisbah kerugian sebesar 30% dari Rp 5.000.000,-).

Tentu hal diatas hanya berbicara hitung-hitungan di atas kertasi. Tentu dalam proses agreement kerjasama usaha harus disertai kepercayaan, kejujuran dan kepastian kehalalan jenis usaha tersebut.

Jadi adalah salah kaprah bila ada suatu bank yang meskipun berlabel bank syari’ah ketika mengimingi pinjaman modal kepada nasabah dengan bagi hasil, namu bank tersebut sudah menetapkan besarnya bagi hasil dimuka dalam bentuk besaran rupiah. Ya tentu salah, usaha belum berjalan sehingga belum diketahui usaha tersebut merugi atau tidak kok bank tersebut sudah bisa menetapkan bagi hasil yang harus dikembalikan. Praktek ini tidak ada bedanya dengan konsep bunga dalam sistem ekonomi konvensional, hanya penamaannya saja yang berbeda.

Bisnis bukanlah utang-piutang an sich. Utang piutang murni dalam Islam justru tidak boleh ada tambahan dalam pengembalian, baik tambahan waktu maupun tambahan pokok hutang (bunga, red:). Kalaupun ada tambahan waktu maka harus ada keridhaan dari kedua belah pihak, kalaupun ada tambahan uang maka bersipat hadiah ketika pengembalian dan tidak boleh disepakati dalam bentuk lisan/tulisan maupun isyarat bahasa lainnya pada awal perjanjian utang piutang tersebut.

Sedangkan bisnis adalah proses usaha yang memiliki dua kemungkinan, ada kalanya untung atau ada kemungkinan rugi. Tak ada satu bisnispun yang tak memiliki resiko. Karena itu konsep ekonomi Islam menerapkan bagi hasil sedemikian dengan prinsip keadilan dan agar tidak ada yang terzhalimi baik usaha tersebut memperoleh keuntungan maupun merugi.

Bila ada pendapat yang mengatakan daripada berbisnis mengambil resiko lebih baik saya bersedekah. Ya bersedekah memang berpahala, namun berbisnis juga memiliki pahala sendiri. Karna Allah memerintahkan dalam firmannya:

فانتشروا في الأرض و ابتغوا من فضل الله

“Maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah” (al Jumu’ah : 10)

Dengan berbisnis kita bisa menafkahi keluarga dan dengan berbisnis pula kita bisa memperbanyak bersedekah. Rasulullah dan mayoritas para sahabat adalah pebisnis. Soal mana bisnis yang paling menguntungkan (bukan nol resiko) dan cara bisnis yang menguntungkan tentu perlu ada bab pembahasan tersendiri. Tapi yang jelas dasar dari bisnis adalah proses usaha yang memiliki kemungkinan untung atau pun rugi.

Wallahu a’lam