Entah apa sebenarnya yang membedakan kasus buronnya Edy Tansil, Nunung dan Nazaruddin. Yang jelas Edy Tansil sudah sekian tahun bebas berkeliaran di luar negeri seolah tak ada usaha pengangkapanyang sistemik dari aparat penegak hukum Indonesia. Kasus Nunun yg buron ke luar negeri pun seolah terlupakan. Namun untuk kasus Nazaruddin terlihat usaha penangkapan begitu sistematis dan penuh kesungguhan. Mulai dari red notice ke interpol, pelacakan skype, sampai menggelontorkan dana miliaran rupiah (yg saya dengar dari media sekitar 4 miliar kalau tidak salah) untuk menyewa pesawat carteran demi memboyong nazaruddin yang sudah tertangkap di Cartagena Kolombia ke Jakarta.
Apakah karena Nazar melakukan korupsi lebih besar dari dua orang lainnya tersebut. Atau kasus Nazar ini menjadi kasus yang sangat sensitif terkait dirinya sebaga bendahara partai penguasa (Demokrat) dan nyanyian-nyanyiannya selama buron yang mengangkat nama-nama barisan elit partai tersebut seperti Anas Urbaningrum (Ketua Partai Demokrat), Andi Malaranggeng (Menegpora), Angelina Sondakh (Aleg DPR Pusat dari Partai Demokrat) dan beberapa jajaran pejabat KPK.
Lepas dari perbandingan itu yang jelas patut disyukuri bahwa kini Nazar telah tertangkap dan telah berada di Indonesia. Namun kini timbul kecemasan baru, Nazar kini begitu kontras dibanding saat buron. Kini ia bungkam tidak mau memberikan kesaksian di atas prosedur hukum yang sedang dijalaninya. Sehingga menimbulkan kecemasan di berbagai kalangan yang peduli, bahwa indikasi korupsi kolaboratif yang melibatkan elit-elit partai penguasa tersebut akan mati suri alias di peti eskan. Padahal indikasi sudah ada, dan bukti dari para supir mobil-mobil pembawa uang money politics telah disiarkan di media beberapa hari yang lalu.
Meski demikian, pencgacara Nazar sudah mempersilahkan KPK memeriksa dan membongkar kasus korupsi kolaboratif tersebut kepada orang-orang yang telah disebutkan Nazar tanpa menjadikan Nazar sebagai kunci kasus ini.
Yang jelas informasi dan indikasi juga sebagian bukti telah ada. Maka, jika KPK enggan membongkar kasus korupsi kolaboratif tersebut hanya karna kini Nazar bungkam maka hal ini akan menjadi preseden buruk bagi jaminan masa depan politik Indonesia yang bersih. Sehingga miliaran rupiah yang digelontorkan untuk memboyong Nazar dari Kolombia tidak memiliki manfaat signifikan, karena banyak kalangan mengatakan biaya miliaran rupiah tuk carteran pesawat pembawa nazar terlalu mahal tapi mereka tetap legowo demi penegakan hukum yang seadil-adilnya.
Jangan sampai justru usaha sungguh-sungguh membawa nazar ke Jakarta dicurigai menjadi konspirasi agar kasus partai penguasa tersebut mati suri. Semoga saja tidak dan semoga saja KPK masih menjadi lembaga yang bisa dipercaya, karena banyak yang masih membela kesinambungan lembaga tersebut setelah Ketua DPR Marzuki Ali yg noto bene anggota partai Demokrat juga mengeluarkan statement pembubaran KPK.