Ketika ‘Arsy Allah Bergetar

Semenjak 14 abad silam dimulailah penyebaran suatu suara atau kalimat ke seluruh penjuru timur dan barat dunia, yaitu kalimat لا إله إلا الله. Penyebarannya selama 14 abad ini belum pernah berhenti hingga sekarang seiring berubah-ubahnya keadaan, berubah-ubahnya suatu negara. Tersebarnya kalimat ini adalah dalil hidup yang berbicara mengenai kemenangan Muhammad bin Abdullah.

Kemenangan ini bukanlah kemenangan dalam pertempuran dan peperangan, bukanlah fathu mekkah, dan juga bukanlah tertunduknya dua kerajaan yaitu Persia dan Romawi. Semata-mata kemenangan ini adalah kemenangan universal, natural, yang memang ada dalam struktur kehidupan manusia.

Kemenangan ini tidaklah akan hilang seiring kelemahan yang menimpa kaum muslimin dalam suatu waktu, dan prinsip-prinsipnya tidak akan ditundukkan oleh kemunculan aliran-aliran dan filsafat-filsafat baru, cahayanya tidak akan padam seiring penaklukan suatu negara atas negara lain. Karena, akar kemenangan ini menancap di kedalaman alam, berakar di hati nurani manusia dan berjalan mengikuti aliran kehidupan karena memang kemenangan ini adalah kemenangan universal dan natural.

Kemenangan ini adalah kemenangan yang membawa petunjuk yang besar, maka hendaklah kita berusaha mengetahui sebab-sebab dan sarana-sarananya untuk kita mengusahakan sebab-sebab dan sarana-sarana itu pada hari ini.

Tidak diragukan bahwa Allah memang menghendaki Muhammad bin Abdullah untuk menang, dan Allah menginginkan agama ini berkuasa. Akan tetapi Allah tidak menginginkan kemenangan ini sebagai suatu hal yang mudah dicapai, dan Allah tidak ingin menjadikan kemenangan ini sebagai mukjizat, harus ada kesungguhan dari manusia untuk mewujudkannya. Semata-mata Allah menjadikan kemenangan ini sebagai buah dari kesungguhan dan jihad Rasulullah SAW, dan hasil yang logis dari tadhhiyyah (pengorbanan) Rasul dan para sahabatnya.

Maka, barang siapa yang ingin mengetahui bagaimana Muhammad bin Abdullah menang atau bagaimana Islam menang hendaklah ia mempelajari kepribadiannya, prilakunya, sejarahnya dan jihadnya SAW. Karena dengan demikian ia akan mengetahui bahwa jalan kemenangan itu telah tergambar, sarana-sarana kemenangan itu telah ada dan sebab-sebab kemenangan itu telah ada. Siapa yang ingin memperoleh kemenangan di suatu tempat manapun, di suatu waktu kapanpun, hendaklah ia menjadikan Rasul sebagai qudwahnya (suri tauladannya)

Muhammad bin Abdullah telah memperoleh kemenangannya ketika datang  pembesar-pembesar Quraisy yang berhujjah kepada Abi Thalib tentangnya. Mereka meminta kepada Abi Thalib agar memalingkan keponakannya untuk diam dihadapan mereka dan tuhan-tuhan mereka. Karna hal ini telah menggoncangkan agama mereka, mengusik tradisi mereka dan menggoyahkan aqidah mereka. Jika Muhammad mau maka ia akan diberikan apa yang ia inginkan. Jika menginginkan harta, mereka akan memberinya, jika ia menginginkan kehormatan, mereka pun akan menghormatinya, bahkan lebih dari itu yang ia inginkan akan diberikan.

Sunguh, Muhammad telah memperoleh kemenangannya manakala ia melemparkan jawaban ke telinga-telinga mereka dengan satu kata-kata yang kekal yang bersumber dari mata air keimanan :

و الله يا عمي لو وضعوا الشمس في يميني و القمر في يساري على أن أترك هذا الأمر, ما فعلت حتى يظهره الله أو أهلك دونه

“Demi Allah wahai pamanku, jika seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, aku tidak akan melakukannya hingga Allah memenangkannya atau aku binasa di hadapannya”

Ya Allah!! Betapa ini suatu keajaiban yang menggoncangkan, betapa ini adalah gambaran universal yang dahsyat. ” jika seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku” ini adalah ungkapan yang muncul dari nurani alam bukan dari khayalan seorang manusia (Muhammad). Ini adalah ungkapan yang dihembuskan oleh kemutlakan iman dan kekuatan emosi.

Sungguh, pada hari itu Muhammad telah memperoleh kemenangannya, ia telah menggoncangkan emosi orang-orang Quraisy dengan satu kekuatan yang berasal dari keimanan. Karna kekuatan seperti ini tidak akan dapat dikalahkan oleh sesuatupun di muka bumi ini ketika ia sudah bersemayam kokoh di hati nurani manusia.

Muhammad bin Abdullah telah memperoleh kemenangannya ketika ia telah berhasil menjadikan sahabat-sahabatnya ra. gambaran hidup dari keimanan. Mereka makan, berjalan di pasar-pasar, sedangkan Muhammad telah membentuk masing-masing mereka menjadi Al Qur’an yang hidup yang merayap di atas muka bumi, pada saat itu juga Muhammad telah menjadikan setiap mereka contoh konkret dari Islam, manakala para manusia melihat mereka maka para manusia ini melihat Islam.

Sesungguhnya nash-nash agama ini tidak berbuat apa-apa, dan mushhaf pun tidak beraktivitas layaknya seorang laki-laki dan prinsip-prinsip agama ini pun tidak akan hidup kecuali ketika ia menjadi perilaku. Dari sinilah Muhammad bin Abdullah menjadikan strategi yang pertamanya adalah membentuk generasi bukan memberi nasihat, membentuk hati nurani bukan menyampaikan khutbah, membangun umat bukan filsafat. Adapun fikrah (pemikiran) sejatinya menjadi tanggungan Al Qur’an al Karim sedangkan kerja Muhammad SAW adalah merubah fikrah an sich menjadi tokoh-tokoh yang nyata dan terlihat oleh mata.

Maka ketika tokoh-tokoh ini bertebaran di penjuru timur dan barat bumi, seketika itu manusia melihat makhluk baru yang tidak ada tandingannya dalam periode kemanusaan. Ketika itulah para manusia beriman dengan fikrah, karna mereka beriman kepada laki-laki yang terjewantahkan fikrah itu darinya, serta merta mereka merealisasikan fikrah itu dan menempuh jalan yang sama.

Pemikiran-pemikiran (fikrah) sendiri tidaklah hidup, kalaupun dia hidup maka dia tidak memberikan satu qudwah (contoh). Akan tetapi semua fikrah akan hidup manakala terjewantahkan sebagai manusia yang berjalan tegak, dan seluruh fikrah akan bekerja ketika ia berubah menjadi pergerakan manusia. Sungguh, telah menang Muhammad pada hari dia membetuk dari fikrah itu pribadi-pribadi yang agung yang pernah ada di muka bumi dan menjadi generasi terbaik.

Cahaya apakah yang mereka pedomani, sehingga mereka menjadi manusia-manusia langit yang agung, sehingga mereka mampu merubah bangsa Arab yang terkungkung dalam kegersangan padang pasir menjadi soko guru peradaban dunia. Tidak terpikir sebelumnya oleh mereka bisa menginjak permadani-permadani kisra, menaklukkan adikuasa saat itu Romawi.

Cahaya yang mereka pedomani adalah keimanan yang mendalam yang tidak hanya berada di bibir, tapi masuk ke seluruh relung-relung jiwa dan mengharu biru dada mereka sehingga berkecamuk kerinduan mereka kepada Tuhan mereka untuk bertemu dalam suasana راضية مرضية (ridha dan diridhai).

Bahkan keimanan mereka ini adalah keimanan yang mencapai puncaknya, keimanan yang sudah ‘mentok’ pada titik tertinggi nilai keimanan itu sendiri, sehingga kalaulah tabir keghaiban itu dibuka untuk diperlihatkan kepada mereka, maka hal itu tidak akan menambah keimanan mereka. Karna mereka sudah melihat seluruh keghaiban yang dikabarkan dalam agama mereka dengan keimanan mereka dan mereka sunguh-sungguh beriman dengannya. Lihatlah kisah di bawah ini yang terjadi antara Muhammad SAW dengan Haritsah ra. :

Haritsah berjalan melalui tempat Rasulullah SAW, lalu beliau SAW bertanya dengan sabdanya :

كيف أصبحت يا حارثة؟

قال : أصبحت مؤمنا حقا

قال : انظر ماذا تقول!! فإن لكل شيء حقيقة, فما حقيقة إيمانك؟

قال : عزفت نفسي عن الدنيا, فأسهرت ليلي و أظمأت نهاري و كأني أنظر إلى عرش ربي بارزا, و كأني أنظر إلى أهل الجنة يتزاورون فيها, و كأني أنظر إلى أهل النار يتضاغون فيها

قال : عرفت يا حارثة, فالزم!!

“Bagaimanakah engkau pagi ini wahai Haritsah?

Haritsah menjawab : saya adalah mukmin yang benar

Rasul bersabda : pikirkanlah baik-baik apa yang engkau katakan itu, sebab segala sesuatu pasti ada hakekatnya, maka apakah hakekat keimananmu itu?

Haritsah menjawab : Jiwaku tidak memperhatikan lagi keduniaan, waktu malam saya berjaga dan waktu siang saya haus (malam bangun shalat dan siang berpuasa). Seolah-olah saya melihat ‘arsy Tuhan-ku yang tampak jelas, seolah-olah saya melihat ahli surga saling ziarah-menziarahi, dan seolah-olah saya melihat para ahli neraka sama-sama berteriak-teriak di dalamnya.

Rasul bersabda : Engkau sudah benar-benar mengerti itu wahai Haritsah, maka tetapilah!!

Keimanan inilah yang membuat mereka mampu mengarungi samudera, menerjang badai dan menelusuri gunung dan lembah. Keimanan inilah yang membuat mereka mampu berkorban sampai pada tingkat perngobanan yang setinggi-tingginya (syahadah) mati syahid dijalan Allah, sebuah seni kematian bercita rasa tinggi. Dengarlah senandung Abdullah ibnu Rawahah ketika hendak mengubur rasa kecut dan ragunya di hadapan bala tentawa Ramawi :

“Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga

Tapi kenapa kulihat engkau menolak surga

Wahai diri, bila engkau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati

Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti”

Atau simaklah kisah Hanzhalah yang rela meninggalkan kenikmatan berada di antara dua paha istrinya dalam syahdunya suasana pengantin baru, yang kemudian loncat dari peraduan mereka untuk lebih memilih kematian di medan perang, apa yang terjadi setelah itu? Malaikat pun memandikan tubuh yang mulia ini setelah syahidnya.

Keimanan inilah yang mampu membuat mereka berukhuwwah (bersaudara) hingga pada tingkat itsar (mendahulukan kepentingan orang lain) sehingga seorang Sa’ad bin Rabi mampu berkata kepada Abdurrahman bin ‘Auf :

“Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silahkan pilih separoh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang istri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperistrinya”

Dengan keimanan pulalah Abdurrahman bin Auf menjawab kebaikan saudaranya seiman ini :

“Moga-moga Allah memberkati anda, istri dan harta anda, tunjukilah letaknya pasar agar aku dapat berniaga!”

Cahaya yang mereka pedomani adalah kequdwahan yang sempurna. Bagaimana mereka mencontoh idola mereka sampai pada hal-hal detil. Karna mereka yakin apa yang dikatakan ‘A’isyah ra. :

“Akhlak Rasulullah adalah Al Qur’an”

Atau ketika ‘A’isyah ra. ditanya manakah kepribadian Rasulullah yang menakjubkan, ia balik bertanya :

“Adakah kepribadian Rasulullah yang tidak menakjubkan?”

Pernahkan kita melihat seseorang yang tidak ingin mengupas buah, hanya karna ia belum melihat bagaimana sang idolanya mengupas buah?

Betapa seorang Ali bin Abi Thalib ra. memiliki idola yang sangat diidam-idamkan manakala ia menaiki kudanya, berdo’a lalu tersenyum. Ketika ditanya mengapa ia tersenyum, ia hanya berkata bahwa ia melihat Rasulullah tersenyum ketika menaiki kudanya.

Apalagi kalau kita membaca sejarah Ibnu Umar ra. yang perangai dan karakternya paling mirip Rasulullah SAW. Tidak pernah ia melewati suatu jalan lalu berhenti dan duduk tanpa alasan satupun kecuali ia telah melihat rasul melakukan hal serupa, atau ketikaa ia masuk ke kota dan memutarkan ontanya tanpa ada alasan baginya dan ontanya kecuali karna onta Rasulullah telah melakukan hal serupa. Allahu akbar wa lillahil hamd

Sungguh inilah sketsa kehidupan yang memaksa mata menangis mengalirkan kerinduan untuk bertemu mereka, membuat bulu roma berdiri dan menggetarkan hati sebagai kecemburuan akan pola hidup mereka. Dan yang lebih mencengankan lagi keterbatasan usia mereka mengetarkan Arsy Allah yang Agung, renungkanlah ketika berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz yang dikatakan oleh Rasulullah SAW :

“Sungguh Arsy Tuhan Yang Rahman bergetar dengan berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz”

 

Referensi :

1.       Dirasaat Islamiyyah – Sayyid Quthb

2.       Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah – Khalid Muhammad Khalid

3.       Aqidah Islam – Sayyid Sabiq