Start dari Terminal Pinang Ranti
Well.. sudah sekian lama tak serius menulis atau melakukan guratan perjalanan di warung ini cukup membuat saya kangen untuk kembali aktif menulis, setelah sebelumnya hanya copy-copy paste saja.
Ok, tulisan kali ini akan mengisahkan backpackeran kami (Kurcaci Backpacker) ke Yogyakarta pada tanggal 26-30 Desember 2015. Dinamakan Kurcaci mungkin karena saya pergi backpackeran bersama 2 anak laki-laki saya (1 SMP dan 4 SD) dan satu keponakan saya (6 SD). Dan terus terang ini adalah pengalaman pertama kami ke Jogja, jadi kami cuma berbekal googling saja mencari penginapan dan destinasi-destinasi yang hendak dituju. Karena long holiday, cukup sulit mendapatkan penginapan di Jogja apalagi di sekitar Malioboro, tapi akhirnya kita bisa mendapatkan satu kamar yang masih kosong yaitu di Green Pearl Home Stay yang terletak di Jl. Mutiara/21 Gondokusuman dengan harga yang cukup murah untuk ukuran long holiday yaitu Rp 150.000/malam, posisi penginapan tersebut persis di belakang stasiun KA Lempuyangan. Sama halnya dengan penginapan, mencari ticket pergi pun cukup sulit. Rencana awalnya kami akan pergi menggunakan kereta namun karena tiket habis akhirnya kita pergi menggunakan bus, itupun cukup sulit mendapatkan tiketnya.
Kami berangkat dari terminal pinang ranti pada tanggal 26 Desember pukul 16.00 dan tiba di Jogja tepat waktu Subuh. Karena kami menggunakan bus jurusan Wonosari maka kami diturunkan bukan di terminal Giwangan, Jogja. Tapi di sebuah perempatan jalan raya yang bagi kami yang baru kesini entah dimana posisinya. Akhirnya kami mencari Masjid terdekat untuk Shalat Subuh dan istirahat sejenak. Setelah pagi agak terang saya mencoba mencari informasi dan ternyata kami berada beberapa km dari terminal Giwangan.
Candi Borobudur
Kami memutuskan untuk menuju Borobudur terlebih dahulu, dari Masjid tersebut kami menuju giwangan menumpang bus 3/4. Setelah sarapan di Giwangan kami menuju Borobudur menggunakan bus 3/4 yang langsung menuju terminal Borobudur dengan ongkos 20.000/kepala selama 2 jam. Sesampai disana Borobudur sudah ramai oleh para wisatawan dan cucaca cukup panas, kami pun membasuh dahaga rasa ingin tahu akan sebuah candi yang menjadi salah satu keajaiban dunia tersebut.
Setelah puas keliling Borobudur sampai lelah kami memutuskan kembali ke Jogja menuju penginapan yang sudah kami pesan di Jogja. Alih-alih bisa cepat sampai di penginapan karena sudah sangat lelah ternyata kami harus berkutat dengan panasnya bus kota, kemacetan dan keliling-keliling Jogja. Hal ini dikarenakan kami tidak diturunkan di terminal Giwangan tapi di terminal lain (lupa namanya), dari situ kami lanjut menggunakan Trans Jogja yang membuat kami muter-muter Jogja untuk sampai penginapan menjelang maghrib. Syukurnya tempat penginapan tersebut sangat nyaman, bersih dan luas sehingga kami bisa melepas lelah dan tidur nyenyak.
Hari kedua di Jogja, tempat yang akan kami tuju hari ini rencananya adalah Prambanan, Alun-Alun dan Masjid Keraton serta Malioboro. Belajar di hari pertama dimana waktu kami lebih banyak habis di jalan menggunakan bus maka menurut kami untuk menuju tempat-tempat tersebut menggunakan bus dalam satu hari adalah mustahil. Berbekal googling saya mencari penyewaan mobil namun sayangnya sudah rented-out semua, akhirnya beralih ke motor dan alhamdulillah dapat meski cukup sulit juga. Sebuah Honda Beat pun dikirim ke penginapan kami, tandatangan perjanjian, berikan jaminan serta uang sewa seharga 75 ribu/hari siaplah kita untuk keliling Jogja dengan motor.
Istana Ratu Boko
Butuh waktu bermotor 30-45 dari penginapan kami menuju komplek Candi Prambanan. Sesampai disana wow sudah padat oleh pengunjung sampai tiket box untuk sementara ditutup. Setelah dibuka kembali kami memutuskan membeli tiket paket Prambanan-Ratu Boko seharga 50 ribu/kepala. Tadinya saya pikir Istana Ratu Boko berada satu komplek dengan Candi Prambanan ternyata kami harus diantar dengan shuttle bus keluar dari komplek tersebut yang membutuhkan waktu sekitar 20-30 menit.
Situs Istana Ratu Boko adalah reruntuhan Istana yang dijadikan tempat tinggal Ratu tersebut. Menjelajahi situs tersebut terbayang betapa megahnya istana tersebut pada masa kejayaannya.
Candi Prambanan
Sekembali dari Istana Ratu Boko, kami menjelajahi situs Candi Prambanan. Menurut saya situs candi Prambanan lebih megah dan indah dibanding Candi Borobudur dan nilai seni atau artistiknya pun lebih sedap dipandang, tapi mengapa ya yang dijadikan salah satu keajaiban dunia itu malah Borobudur. Mungkin ada nilai sejarah dan teknis yang ahlinya lebih mengetahui dari saya.
Puas berada di Candi Prambanan, kami menuju daerah Kraton Yogya dimana selain kraton terdapat juga alun-alun dan Masjid kraton, sayangnya setibanya disana kami tidak menemukan suasana retro melankolis yang saya harapkan. Mungkin kebetulan baru saja selesai acara pasar kaget di sekitar kraton sehingga suasana terlihat begitu kumuh dan padat di sore hari itu. Kami pun shalat dzuhur-ashar di masjid Kraton dan sambil istirahat menunggu waktu Maghrib, setelah itu barulah kami akan menuju Malioboro menikmati suasana malam di pusat keramaian Jogja.
Malioboro
Yang saya harapkan ketika berada di Malioboro pada malam hari adalah merasakan suasana yang Katon Bagaskara rasakan ketika ia menggugah lagu Yogyakarta dengan syahdunya. Namun pada malam itu suasana Malioboro begitu ramai, padat dan macet ditambah lagi jarang sekali saya menemukan makanan-makanan tradisional Jogja di daerah tersebut, semuanya hampir sama saja dengan Jakarta. Saya pun tidak tertarik berlama-lama disana ditambah lagi badan sudah lelah sehingga memutuskan untuk kembali penginapan dan beristirahat untuk esok.
Hari ketiga di Jogja, kali ini kami memutuskan untuk mencari suasana pantai dan tentunya pantai favorit saya adalah yang berpasir putih. Maka pagi itu kami berangkat menuju daerah Gunung Kidul sejauh 1,5 jam berkendara dengan motor.
Pantai Indrayanti dan Pok Tunggal
Pantai yang pertama kami temui adalah Pantai Indrayanti, sebuah pantai yang cukup luas berpasir putih, terdapat bukit kecil yang bisa kita daki disana untuk bisa melihat pemandangan pantai dari atas.
Tidak jauh dari pantai Indrayanti kita akan menemukan pantai Pok Tunggal yang juga berpasir putih. Dari pagi hingga sore hari kami menghabiskan waktu di gunung kidul. Anak-anak berenang sedangkan saya sepanjang hari tiduran di atas pasir pantai bertelekan tikar dinaungi payung. Disinilah saya merasakan refreshing yang sebenarnya selama berada di Jogja.
Bukit Bintang
Sekembali dari pantai kami mampir di bukit bintang untuk makan malam dan menikmati suasana pegunungan. Bukit Bintang adalah puncak Gunung Kidul, dari situ kita bisa melihat kota Yogyakarta dari atas. Suasananya hampir mirip dengan suasana Puncak, Bogor dengan skala yang lebih kecil dan suhu yang tidak sedingin Puncak. Well cukup nyaman sebenarnya menikmati malam disana sambil memandangi kota Jogja dari kejauhan. Namun karena khawatir anak-anak mengantuk dan perjalanan juga masih cukup jauh kembali ke penginapan maka saya putuskan untuk tidak terlalu berlama-lama disana.
Hari keempat atau hari terakhir berada di Jogja, saatnya mencari oleh-oleh dan persiapan pulang. Kami akan kembali menuju Jakarta menggunakan kereta pada pukul 17.00 dari stasiun Tugu. Selain mencari oleh-oleh tradisional seperti Bakpia dll, ada satu spot yang membuat kami tertarik adalah Chocolate Monggo. Outletnya terletak cukup terpencil di sebuah gang dekat Masjid Sunan (apa ya, lupa). Namun setelah sampai di outlet tersebut ternyata cukup mewah dan modern bahkan ada pabriknya juga disitu sehingga kita bisa melihat proses pembuatan coklat tradisional Jogja dengan citarasa Belgia ini.
House of Raminten
Check out dari penginapan di siang hari menuju stasiun Tugu, kami sempatkan terlebih dahulu makan siang di House of Raminten. Sebuah rumah makan legendaris dan fenomenal di Jogja. Ketika sampai di restoran tersebut kami tidak bisa langsung menyantap makanan karena penuh sekali dan harus mendaftar sebagai waiting list. Karena penasaran kami relakan menunggu hingga satu jam untuk mendapat giliran duduk di dalamnya. Suasananya nyaman karena duduknya pun lesehan. Soal rasa tak menyesal, disinilah saya merasakan cita rasa kuliner Jogja yang sebenarnya dan ternyata harganya pun sangat murah untuk sekelas restoran terkenal. Kami berempat memesan gudek, nasi goreng dan makanan tradisional lainnya serta aneka minuman hanya menghabiskan sekitar 150 ribu rupiah, fantastis dan memuaskan.
Setelah puas menikmati hidangan tradisional di House of Raminten, tibalah saatnya kami benar-benar harus kembali ke Jakarta menempuh perjalanan delapan jam dengan kereta kami pun tiba kembali di Jakarta pada pukul 01.00 dinihari. Alhamdulillah.